Masih ingat benar saya waktu itu,
hari ibu, waktu saya memberi tahu tentang kabar gembira yang bisa saya kasih
waktu saya usia 15 tahun. Jam 9 Pagi waktu itu, ayah saya telepon untuk beri
tahu tentang hal yang saya tunggu; pengumuman. Saya sudah buka internet pagi
hari itu, jam 8, tapi belum ada pembaruan. Khawatir. Sedih. Takut. Campur aduk
rasanya jadi satu. Sudah lelah saya pagi itu, lelah batin. Sudah malas juga
saya waktu itu, sudah waktu liburan. Tapi kabar gembira begitu segarnya datang
bagai oase. Senang bukan kepalang. Seingat saya, langsung saya telepon ibu
saya. Saya sampaikan kabar gembira itu. Ibu saya mengucapkan syukur. Saya juga
bersyukur. Lebih dari syukur.
Tapi setelah beberapa lama, saya
juga ingat benar betapa leganya saya. Maksudnya saya adalah kumpulan
orang-orang gagal. Orang-orang yang sering tersandung, mungkin. Tapi waktu itu,
saya merasa bahwa saya punya kesempatan untuk bahagia. Untuk dapat kesempatan
lain. Belum ada sampai saat itu pencapaian saya yang lebih besar karena memang
saya bukan orang yang berprestasi mungkin. Hanya anak yang biasa-biasa saja.
Jadi waktu itu bukan hal biasa, benar-benar istimewa. Ah. Rasanya saat bisa
buat bahagia orang tua. Setidaknya mereka bisa sedikit lega. Karena saat itu
juga, saya bukan orang gagal tapi hanya orang terlambat. Saya selalu bilang,
lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kata yang saya dapat dari ibu
saya saat saya mulai les bahasa inggris umur 14 tahun. Tapi waktu itu beda
benar rasanya. Waktu itu saya rasa tidak apa untuk sekadar terlambat, toh,
dapat juga kan?
Saya hanya pernah buat orang tua
senang dua kali, waktu hari ibu itu dan waktu bulan juli hari ketujuh. Rupawan
tanggalnya, rupawan pula kabarnya. Tapi kabar kedua, lebih membuat terharu.
Saya sampai menangis. Karena lebih dasyat rasanya. Lebih dari itu. Saat itu, itu juga hari ibu untuk saya. Sehingga
tahun itu, hari ibu jadi dua kali. Tapi semua senang karena usaha saya memang
terbayar tidak percuma, kan?
Kemudian terulang lagi, saat waktu
hari ibu. Tapi bukan saya yang jadi tokoh utamanya. Ceritanya hampir sama.
Malah hampir lebih baik jalanya. Jadi saya tenang saja, toh, dulu bisa saja
padahal minim saja persiapanya, lebih sedikit usahanya, tapi kalau dia lebih
hebat lagi senjata perangnya. Lebih baik lagi kampung halamanya. Jadi saya
angguk-angguk saja cuma berdoa saja semoga berhasil. Tapi waktu itu, mungkin
lebih keras medan perangnya jadi saya angguk-angguk juga. Tapi kado hari ibu
pula bukan selalu harus saat hari ibu. Toh kami masih jadi anak ibu, kan?
Depok, Desember 2014
No comments:
Post a Comment